Mengenal PM 2.5; Hal Kecil yang Punya Dampak Besar

MENGENAL PM 2.5; HAL KECIL YANG PUNYA DAMPAK BESAR

Apa sebenarnya PM 2.5 itu? Mengapa bisa dikatakan hal kecil yang memiliki dampak besar? 

oleh Julia  


               Saat kita mendengar kata "Jakarta" maka sudah menjadi hal yang biasa apabila masyarakat mengaitkannya dengan "polusi". Meskipun sebenarnya beberapa dari mereka belum pernah datang langsung ke Jakarta, namun kata "polusi" seakan-akan sudah menjadi stigma permanen yang sesuai untuk mendeskripsikan kota padat penduduk ini. Padahal, bisa saja kata "polusi" atau cemaran sebenarnya juga menjadi deskripsi yang tepat untuk beberapa kota lain yang sebelumnya dianggap kota yang minim polusi. 

               Polusi menjadi hal yang cukup hangat dibicarakan, untuk itu memahami seluk-beluk mengenai polusi menjadi sesuatu yang penting saat ini. Particulate Matter 2.5 (PM 2.5) merupakan partikel polusi berukuran kecil yaitu sekitar 2.5 mikrometer yang berbahaya bagi kesehatan. Partikel polusi dengan ukuran sekecil ini memiliki kemungkinan kecil untuk tidak terhirup oleh manusia, terlebih mereka yang tinggal di kawasan industri. PM 2.5 yang mengalami penumpukan di dalam tubuh akan berisiko buruk terhadap kesehatan saluran pernapasan bahkan sampai ke peredaran darah karena ukurannya yang sangat kecil (BMKG, 2015).

Mengapa PM 2.5 dianggap berbahaya? Komponen apa yang sebenarnya terkandung di dalamnya?

Berdasarkan penelitian Glakoumi, dkk (2009) menunjukkan bahwa dalam PM 2.5 mengandung beberapa senyawa berikut:

1. Debu mineral

2. Amonia

3. Karbon 

4. Nitrogen oksida

5. Sulfur dioksida

Perlu menjadi perhatian bahwa sulfur dioksida dan nitrogen oksida merupakan senyawa yang berkontribusi besar dalam pencemaran udara dan biasanya ditemukan dalam bahan bakar kendaraan bermotor. Oleh karena itu, daerah yang memiliki sektor transportasi yang tinggi cenderung menyumbang polusi yang tinggi pula. Hal ini juga berkaitan dengan pola aktivitas masyarakat, mereka yang beraktivitas di dalam ruangan memiliki risiko terpapar PM 2.5 yang lebih kecil dibanding mereka yang beraktivitas di luar ruangan (Wijiarti, 2016).

Apakah hanya daerah yang berpolusi saja yang terdapat kemungkinan tercemar PM 2.5? Bagaimana dengan daerah lain?

Berdasarkan apa yang telah ditulis di atas terkait kota Jakarta yang stigmanya adalah kota polusi, maka kali ini mari kita tinjau bagaimana data sebaran PM 2.5 yang tercemar di beberapa daerah yang dirangkum dalam satu pulau di Indonesia. 

A. Identifikasi Laju Kenaikan Pencemaran PM 2.5 di Pulau Sumatera 


Bersumber dari grafik yang ada dan penjelasan ilmiah mengenai pencemaran PM 2.5 pada kurun waktu 2013-2015 yang mengalami peningkatan cukup ekstrem dinyatakan bahwa penyebab utamanya adalah kebakaran hutan. Kebakaran hutan yang terjadi juga dihubungkan dengan deforestasi ilegal, perkebunan kelapa sawit, dan ladang berpindah pada sektor pertanian (Lee, G., 2021). 

B. Identifikasi Laju Kenaikan Pencemaran PM 2.5 di Pulau Jawa



Polutan PM 2.5 yang diteliti di beberapa daerah di pulau Jawa termasuk dalam kategori sedang jumlahnya. Pada tahun 2016 laporan WHO mengenai kualitas udara yang menggunakan parameter PM 2.5 dan PM 10 memaparkan bahwa kualitas udara di Indonesia khususnya pulau Jawa berada di atas ambang batas. Pada tahun 2018, Kota Jakarta Pusat teridentifikasi memiliki kualitas udara paling buruk, salah satu faktor yang mempengaruhi adalah peningkatan jumlah pembangunan gedung pemerintah dan pusat perbelanjaan. Menurunnya kualitas udara yang baik, menjadikan kadar polutan semakin tinggi, sehingga semakin tinggi pula terjadi gangguan saluran pernapasan dan iritasi (Rita, dkk., 2016)

C. Identifikasi Laju Kenaikan Pencemaran PM 2.5 di Pulau Bali dan Nusa Tenggara


Berdasarkan Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH), Bali sempat berada pada posisi sangat baik pada tahun 2008 dalam hal kualitas udaranya sehingga wilayah Bali sempat mengalami penurunan jumlah polusi di udara (Suarna, 2015). Jika dilihat pada grafik di atas, wilayah Bali berada di deretan paling rendah angka kenaikan PM 2.5nya daripada wilayah-wilayah lain. Hal ini didukung oleh data pencemaran polutan PM 2.5 pada wilayah Bali tergolong rendah dan masih berada di bawah nilai ambang batas (Arwini, 2020).

D. Identifikasi Laju Kenaikan Pencemaran PM 2.5 di Pulau Kalimantan


Dalam grafik, angka tertinggi memang terjadi pada tahun 2015 sebesar 37.09 µg/m3 . Menurut Air Quality Guidlines WHO, ambang batas pencemaran PM 2.5 minimal mencapai 10 µg/m3 . Oleh karena itu, Indonesia berada pada krisis kualitas udara bersih. Potensi kesehatan di Kalimantan juga menurun seiring bertambahnya polusi jenis PM 2.5 ini, akibatnya jumlah kematian dini semakin meningkat. Berdasarkan penelitian, telah terjadi kasus 648 kematian dini dalam periode 2011-2015 dan 55 di antaranya mengalami masalah gangguan pernapasan, 266 lainya menderita penyakit kardiovaskular, serta 95 kasus sisanya akibat kanker paru-paru (Kusin, dkk., 2022)

E. Identifikasi Laju Kenaikan Pencemaran PM 2.5 di Pulau Sulawesi


Kondisi lingkungan di Sulawesi sampai saat ini cukup terbilang kawasan hijau dan grafik pada kurun waktu 1998-2018 tidak sebesar daerah Kalimantan. Penelitian yang dilakukan mengungkap bahwa salah satu faktor yang menyebabkan tersebar luasnya PM 2.5 ini akibat faktor meteorologi seperti suhu, kecepatan dan arah angin, iklim, curah hujan, serta kelembaban yang mempengaruhi konsentrasi polutan di udara (Rivai, dkk., 2021). Berdasarkan data jumlah kendaraan yang terjadi di Sulawesi Tenggara pada kurun waktu 2018 mengalami kenaikan. Hal ini menjadi penyebab utama mengapa PM 2.5 di Sulawesi sempat mengalami kenaikan mulai tahun 2014 hingga 2018 yang menjadi puncak kebutuhan jumlah kendaraan yang meningkat di Sulawesi (Maksum, T, 2022)

F. Identifikasi Laju Kenaikan Pencemaran PM 2.5 di Pulau Papua


Peristiwa deforestasi dan degradasi hutan untuk perkebunan kelapa sawit di Nabire, Papua memicu terjadinya kenaikan polusi udara di Papua pada tahun 2015 (Anonim, 2015). Hal tersebut sesuai dengan grafik yang ada pada tahun 2015 yang menunjukkan angka yang cukup tinggi untuk persebaran PM 2.5.


Laju kenaikan cemaran PM 2.5 berdasarkan analisis dari pengamatan di beberapa wilayah yaitu mayoritas disebabkan oleh faktor meteorologi dan klimatologi. Aktivitas manusia yang menyebabkan kenaikan angka cemaran PM 2.5 adalah kebakaran hutan, deforestasi dan degradasi lahan ilegal, serta pertumbuhan populasi manusia yang semakin banyak dan berpengaruh terhadap tingkat kebutuhan manusia termasuk dalam aspek transportasi. Semakin banyak jumlah manusia, maka semakin banyak kebutuhan yang harus dipenuhi. Oleh karena itu, dari tahun ke tahun laju kebutuhan transportasi manusia semakin meningkat dan sampai saat ini manusia masih jarang menggunakan transportasi umum. Dari aktivitas-aktivitas manusia yang merugikan dan populasi manusia yang semakin bertambah, maka hal ini akan membantu laju kenaikan cemaran PM 2.5 di Indonesia. 

Inilah mengapa PM 2.5 disebut sesuatu yang sangat kecil namun berdampak besar. Oleh karena itu, ayo mulai lakukan hal kecil yang dapat membantu polusi di Indonesia berkurang! 

ㅡsampai jumpa di universe berikutnya!


Source: 

A. Giakoumi, T. Maggos, J. Michopoulos, C. Helmis and C. Vasilakos, "PM2.5

and volatile organic compounds (VOCs) in ambient air: a focus on the effect of

meteorology," Environ Monit Assess, vol. 152, pp. 83-95, 2009.


Anonim. (2015). Masalah eksploitasi sumber alam di papua pada januari 2015. https://www.jeratpapua.org/2015/03/10/masalah-eksploitasi-sumberalam-di-papua-pada-januari-2015/


Arwini, D. P. (n.d.). Dampak pencemaran udara terhadap kualitas udara di provinsi bali. https://ejournal.universitasmahendradatta.ac.id/index.php/vastuwidya/article/vi ew/8


Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. 2015. Informasi konsentrasi partikulat (pm2.5). https://www.bmkg.go.id/kualitas-udara/informasi-partikulat-pm25.bmkg


Kusin, K., Sulistiyanto, Y., Usup, A., & Ardianor. (2022). Carbon monoxide (CO) and particulate matter (PM2.5) concentration at Central Kalimantan, Indonesia. 


Lee, K., Greenstone, M. (2021). Polusi Udara Indonesia dan Dampaknya Terhadap Usia Harapan Hidup. AQLI. https://aqli.epic.uchicago.edu/wpcontent/uploads/2021/09/AQLI_IndonesiaReport-2021_IND-version9.7.pdf


Maksum, T. S., & Tarigan, S. F. (2022). Analisis risiko kesehatan akibat paparan partikel debu (Pm2.5) Dari aktivitas transportasi. 


Rita, Lestiani, D. D., Hamonangan, E., Santoso, M., Yulinawati, H. (2016). Kualitas udara (Pm10 Dan PM2.5) untuk melengkapi kajian indeks kualitas lingkungan hidup. https://ejournal.forda-mof.org/ejournallitbang/index.php/JKLH/article/view/2493/1923


Suarna, W. I. (2015). Indeks kualitas lingkungan hidup provinsi bali. IMISSU Single Sign On of Udayana University. https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/e5fee8b25cccf92cafb83cf0f3 36528d.pdf


Wijiarti, K., Hanani, D.Y., Yunita, A.N.D. 2016. Analisis risiko kesehatan lingkungan paparan sulfur oksida (so2) udaraa ambien pada pedagang kaki lima. JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT (e-Journal) vol 4, Nomor 4. http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jkm


































 

Komentar

Postingan Populer